Beranda | Artikel
Syarat Mengambil Manfaat dari Al-Quran
1 hari lalu

Syarat Mengambil Manfaat dari Al-Qur’an adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Al-Fawaid. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah TaslimM.A. pada Kamis, 6 Shafar 1447 H / 31 Juli 2025 M.

Kajian Islam Tentang Syarat Mengambil Manfaat dari Al-Qur’an

Mengambil manfaat dari Al-Qur’an tentu sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap Muslim. Al-Qur’an dipenuhi dengan keberkahan dan kebaikan. Namun, keberkahan dan kebaikan itu hanya bisa diraih dengan usaha serta doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, disertai bimbingan dari Al-Qur’an itu sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“(Inilah) sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah agar mereka merenungkan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal mendapatkan pelajaran.” (QS. Shad [38]: 29)

Al-Qur’an sarat dengan kebaikan dan keberkahan, tetapi kita hanya bisa mengambil keberkahannya sejauh kita merenungi dan memahami kandungannya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan syarat-syarat agar kita dapat memetik faedah dari Al-Qur’an. Beliau berkata bahwa jika seseorang ingin mengambil manfaat dari Al-Qur’an, maka:

“Himpunkanlah hatimu saat membacanya atau saat mendengarkan bacaan Al-Qur’an.”

Jangan membaca Al-Qur’an sambil bermain-main, apalagi tidak memperhatikan. Ini bukan hanya melanggar perintah Allah, tetapi juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap firman-Nya yang agung. Al-Qur’an adalah firman Allah, diturunkan untuk kebaikan kita. Maka bagaimana mungkin saat dibacakan di hadapan kita, kita justru tidak memberikan perhatian?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf [7]: 204)

Jika Al-Qur’an sedang diperdengarkan, misalnya melalui murottal, namun saat itu kita harus berbicara atau ada urusan lain, sebaiknya matikan dahulu bacaan tersebut. Karena kita diperintahkan untuk mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Al-Qur’an dibacakan. Fokuskan pendengaran dan himpunkan hati, sebab semua ini demi kebaikan dan kemanfaatan kita, baik di dunia maupun di akhirat.

Ini adalah firman Allah. Apalagi Al-Qur’an jelas merupakan sebaik-baik petunjuk. Sesungguhnya Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada jalan yang paling lurus.

قُلْ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلْهُدَىٰ

“Katakanlah, sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 120)

Berarti kita harus benar-benar memberikan perhatian dan memusatkan pendengaran kita. Hadirkanlah hati ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadirkan seluruh hatinya ketika menerima wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an adalah nasihat, petunjuk yang ditujukan kepada kita, diturunkan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kita harus menghadirkan diri sepenuhnya karena Al-Qur’an memang ditujukan untuk kita: nasihatnya, tegurannya, bimbingan, dan petunjuknya.

Di sinilah kita memahami bahwa manfaat dari Al-Qur’an hanya akan diperoleh jika kita menyimaknya dengan saksama dan merenungkannya dengan hati yang hadir.

Dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Imam Ibnu Qayyim rahimahullah, saat beliau menjelaskan fungsi dan keberkahan Al-Qur’an, beliau menyebutkan bahwa keberkahan dan kebaikan Al-Qur’an tergantung pada sejauh mana kita memahami isinya dan mengerti kandungan makna ayat-ayatnya, agar kita bisa merenungkan.

Artinya, kita harus membaca dengan tadabbur dan konsentrasi. Sejauh itulah keberkahan Al-Qur’an dapat kita rasakan. Allah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berfirman:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia hadir (tidak lalai).” (QS. Qaf [50]: 37)

Inilah ayat yang dijadikan sebagai dasar penjabaran tentang syarat-syarat untuk dapat mengambil manfaat dan memetik faedah dari Al-Qur’an. Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa sempurnanya pengaruh dan faedah yang didapatkan tergantung pada dua hal:

  1. Sumber pengaruh atau faedah itu sendiri, yaitu Al-Qur’an.
  2. Media penerima faedah tersebut, yakni hati yang hidup dan pendengaran yang hadir, tidak lalai.
  3. Adanya syarat untuk mendapatkan pengaruh dari Al-Qur’an.
  4. Hilangnya penghalang yang menghalangi masuknya pengaruh tersebut.

Ayat yang mulia, yaitu firman Allah dalam Surah Qaf ayat ke-37, mengandung penjelasan tentang semua hal ini. Dengan lafaz yang sangat ringkas, jelas, dan gamblang, ayat ini menjelaskan maksud dan tujuan tersebut.

Masya Allah, perenungan terhadap ayat ini memberikan pengaruh besar dalam memetik faedah dari Al-Qur’an. Ini merupakan sebaik-baik perkara yang seharusnya dicari dan diupayakan oleh manusia. Sebab Al-Qur’an adalah petunjuk yang penuh kebaikan. Namun, sering kali kita belum maksimal dalam mengupayakan petunjuk itu karena belum memenuhi syarat-syaratnya secara sempurna.

Syarat Pertama, adanya sumber manfaat

Perhatikan firman Allah di awal ayat ini:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ…

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran…” (QS. Qaf [50]: 37)

Ini menunjukkan penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya dalam Surah Qaf, mulai dari awal hingga ayat ke-37. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang keagungan Al-Qur’an, penciptaan manusia, keindahan dan kesempurnaan ciptaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, serta peringatan bagi orang-orang kafir yang mendustakan kebenaran.

Juga tentang bagaimana manusia akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, serta ancaman azab neraka. Semua ini adalah pelajaran yang Allah kumpulkan dalam ayat tersebut: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran.”

Inilah syarat pertama untuk mendapatkan pengaruh dan manfaat. Yaitu adanya sumber kebaikan. Bagaimana mungkin seseorang mendapatkan faedah dari sesuatu jika sumbernya bukanlah kebaikan? Maka, sumber terbaik dari segala kebaikan adalah Al-Qur’an, wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Demikian pula, ucapan para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum—sebaik-baik manusia setelah para nabi dan rasul. Maka membaca Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih membawa pengaruh yang paling kuat sebagai sumber manfaat.

Dari sinilah pentingnya belajar dari sumber yang benar. Tidak boleh sembarangan mengambil ilmu, karena pengaruh kebaikan hanya datang dari sumber yang bersih dan benar. Ungkapan Arab yang masyhur menyebut:

فاقد الشيء لا يعطيه

“Orang yang tidak memiliki sesuatu, tidak akan mampu memberikannya.”

Seseorang yang tidak memiliki kebaikan dalam dirinya tidak akan mampu memperbaiki orang lain. Ia yang tidak bertakwa tidak mungkin menjadi sebab tumbuhnya takwa bagi orang lain.

Oleh karena itu, sumber ilmu yang benar adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang shahih, ucapan para sahabat, dan penjelasan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama‘ah yang mengikuti mereka dengan baik.

Para ulama senantiasa memperingatkan pentingnya memilih dari siapa ilmu agama diambil. Tidak asing bagi kita perkataan imam besar dari kalangan tabi’in, Muhammad bin Sirin rahimahullāh:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah bagian dari agamamu. Maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu.”

Al-Qur’an dan sunnah adalah sebaik-baik sumber kebaikan, tetapi tetap harus diperhatikan siapa yang menjelaskannya kepada kita. Siapa yang membimbing kita memahaminya? Orang ini pun harus diteliti.

Dahulu, para ulama salaf sangat berhati-hati dalam menimba ilmu. Imam dari kalangan tabi’in, Ibrahim bin Yazid An-Nakha’i Rahimahullah, pernah mengatakan bahwa sebelum menimba ilmu dari seorang guru, para ulama pergi lebih dahulu ke masjidnya. Mereka memperhatikan bagaimana shalatnya, akhlaknya, bimbingannya terhadap manusia di sekitarnya. Barulah mereka mengambil ilmu darinya. Karena guru adalah sumber pengaruh, sumber kebaikan.

Syarat Kedua, Hati

Kemudian, firman Allah berikutnya menyebutkan bahwa pengaruh kebaikan itu hanya akan diterima oleh orang yang memiliki hati. Sumber kebaikannya sudah benar, tetapi apakah dalam diri orang tersebut terdapat media untuk menampung pengaruh itu?

Media tersebut adalah hati manusia. Kata yang mulia, Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu, dalam riwayat yang shahih:

“Sesungguhnya hati itu adalah wadah, dan sebaik-baik hati adalah yang paling luas daya tampungnya.”

Hati adalah wadah untuk menampung kebaikan. Namun, bagaimana bila hati telah dipenuhi kotoran syubhat dan syahwat, akibat perbuatan maksiat yang menumpuk dan menutupi hati? Maka, kebaikan akan sulit masuk ke dalamnya. Diperlukan hati yang bersih dan lapang untuk dapat menerima faedah dari Al-Qur’an.

Inilah faktor penting yang disebutkan para ulama dalam menjelaskan syarat seseorang bisa mengambil manfaat dari Al-Qur’an.

Dan tentu maksudnya adalah hati yang hidup, hati yang bersih dari kotoran penyakit syubhat atau syahwat—memperturutkan hawa nafsu, kerancuan dalam memahami agama, serta keragu-raguan dalam iman. Ini semua adalah kotoran yang memenuhi hati dan akan menghalangi kebaikan masuk ke dalamnya.

Jadi, maksudnya adalah hati yang hidup, yang bisa memahami petunjuk Allah. Dalilnya adalah sebagaimana firman Allah:

…إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُّبِينٌ ‎﴿٦٩﴾‏ لِّيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ ‎﴿٧٠﴾‏

“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, agar dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya), dan supaya ketetapan (azab) berlaku atas orang-orang kafir.” (QS. Yasin [36]: 69–70)

Artinya, ada orang-orang yang tertutup hatinya, tidak bisa menerima kebenaran sama sekali karena hatinya sudah mati.

Contohnya adalah orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika para sahabat yang hatinya hidup mendengarkan bimbingan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ayat-ayat Al-Qur’an yang beliau jelaskan, mereka pun menjadi generasi paling utama. Namun, ada orang-orang munafik yang juga pura-pura mendengarkan penjelasan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hati mereka tidak bisa menampung kebaikan. Bahkan ketika Al-Qur’an dibacakan, hati mereka tetap tertutup, tidak bisa menampung keindahan dan keberkahannya.

Allah berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Atau apakah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24)

Padahal yang disampaikan kepada mereka adalah sumber kebaikan terbaik: Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, karena hati mereka sebagai penampung kebaikan sudah mati, maka sumber kebaikan tersebut tidak memberikan pengaruh apa pun.

    Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

    Download MP3 Kajian


    Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55376-syarat-mengambil-manfaat-dari-al-quran/